Cuma Doa, Senjata Kami Tersisa






"Musik tahun baru kami adalah deru suara pesawat tempur Israel, kembang api tahun baru kami adalah percikan-percikan sinar dari misil-misil Israel," kata Raed Samir, seorang pemuda Gaza dengan nada sendu.

Itulah gambaran tahun baru di Jalur Gaza, di saat penduduk dunia bersuka ria merayakan tahun baru dengan hura-hura dan pesta kembang api. Dimana-mana disampaikan pesan tahun baru yang penuh harapan, tapi tidak bagi warga Gaza yang memulai tahun baru dengan penderitaan yang mungkin akan berlangsung lama akibat kebiadaban kaum Zionis Yahudi Israel.

"Lihatlah ke luar, pesawat-pesawat tempur F-16 tersenyum padamu, misil-misil menari untukmu, zanana (suara gemuruh) bernyanyi untukmu," itulah bunyi sms yang diterima Fathi Tobal, juga warga Gaza dari seorang temannya.

Tobal dengan sinis berkata,"Sementara orang lain di seluruh dunia berpesta, kelihatannya pasukan udara Israel sedang berusaha memberikan kami kembang api."

Apa yang dirasakan rakyat Palestina sekarang? Banyak diantara mereka yang merasa diabaikan dan dikhianati oleh masyarakat internasional. "Dunia seharusnya membuka mata, daripada menari-nari dan minum-minum, mereka seharusnya menghentikan sebuah holocaust yang sedang dialami rakyat Gaza. Dunia internasional seharusnya sudah menghentikan dan melindungi hak-hak kami dibawah penjajahan Israel," kata Asad Abu Sharekh, seorang profesor dan pengamat politik.

Warga Gaza bernama Marwan, 40, mengatakan, di apartemennya yang cuma dua kamar kini ada 25 anggota keluarganya yang mengungsi untuk menghindar dari serangan udara Israel. "Orang tua, saudara perempuan, saudara lelaki saya terpaksa mengungsi karena khawatir dengan bombardir Israel di tempat tinggal mereka," ujarnya.

Banyak keluarga di Gaza kini mengungsi ke rumah kerabat atau ke gedung-gedung sekolah. Meski di tempat itu juga mereka tidak aman karena Israel tidak pandang bulu menjatuhkan bom-bomnya. Masjid-masjid pun menjadi target serangan pasukan Zionis biadab itu.

"Seperti yang kalian lihat, pesawat-pesawat Israel menebarkan ketakutan dimana-mana. Saya berharap anak-anak muda di tempat lain, melakukan sesuatu sebagai bentuk solidaritasnya pada kami, anak-anak muda di Palestina.

Pada tahun baru, rakyat Palestina biasanya mengucapkan "Kul am wa antum bi khoir" (Semoga Anda selalu sehat dan selamat). Tapi tahun ini, warga Palestina di Gaza saling mengucapkan "Kul qasif wa antum bi khoir" (semoga Anda selamat setelah pengeboman). Sungguh Ironis.

Sebagian warga Gaza yang bertahan di rumah-rumah mereka tidak berani keluar. Anak-anak tak lagi pergi sekolah, para lelaki tidak bisa bekerja bahkan salat pun kini di rumah saja, karena masjid-masjid banyak yang hancur. Para orang tua langsung meraih anak-anaknya, jika melihat mereka mendekat ke jendela atau membuka pintu untuk sekedar mengintip situasi di luar.

Abu Anas Al-Banna beserta isteri dan 10 anaknya kini cuma bisa berdiam diri di rumah kecil mereka di Gaza City. Selama enam hari ini mereka merasakan getaran dan suara dentuman yang memekakkan telinga akibat ledakan misil-misil Israel.

"Kematian mengintai kami semua. Saya sendiri panik dan rasanya ingin berteriak, tapi tak bisa. Saya harus kuat demi anak-anak saya," kata seorang ibu sambil memeluk erat Sami, puteranya yang baru berusia tiga tahun dan tidak berhenti menangis.

"Tidak ada jeritan ataupun air mata yang bisa menyelematkan kami. Berdoa. Doalah satu-satunya senjata kami yang tersisa," kata Abu al-Banna.

Saat malam menjelang merupakan saat-saat yang menakutkan bagi keluarga al-Banna. Lina, 14, salah satu anak perempuan al-Banna, dari sudut tempat tidurnya cuma bisa berbisik bahwa ia sangat ketakutan saat malam tiba. Saudara lelakinya, Anas, juga masih ketakutan setelah beberap jam bombardir yang dilakukan Israel ke pemukiman mereka. Tubuhnya gemetar. "Saya tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Saya kehilangan semua rasa indera saya," kata Anas.

Sejak serangan Israel hari Sabtu kemarin, keluarga al-Banna memutuskan untuk tinggal dalam satu ruangan. Mereka memilih kamar yang tidak ada jendela di sudut yang paling jauh dari lantai dasar, tempat yang paling minimal dari resiko terkena bombardir Israel. Abu al-Banna juga menyiapkan peralatan pertolongan pertama. Meski demikian, mereka tetap tidak bisa memejamkan mata saat malam turun di Gaza.

Anak-anak menutup muka atau menutup telinga mereka jika menderngar deru pesawat tempur Israel. "Setiap menit, rasanya kami harus siap mengucapkan perpisahan satu sama lain. Kami tidak pernah tahu apakah kami akan selamat esok hari," kata mereka pasrah. (ln/iol)

Comments

Popular posts from this blog

kamu siapa?